SELAMAT DATANG DI BLOG "SAYANG ANAK AGAR BAHAGIA"
Latest Updates

Peran Guru pada Perkembangan Anak di Sekolah

”Panjang ceritanya, mulai dari krisis ekonomi, lalu dikaji bermacam-macam disiplin ilmu dan berbagai penelitian, akhirnya sampailah pada masalah sumber daya manusia. Berbicara tentang SDM sebenarnya di Indonesia ini tidak kalah dengan negara lain, kalahnya justru pada mentalitas dan etos kerja. Mentalitaslah yang erat hubungannya dengan karakter, sehingga secara nasional perlu ada pembangunan karakter dari seluruh departemen (kementerian-kementerian) yang berkarakter sebagai program nasional.” Demikian urai Prof. Dr. Rusijono, M.Pd ketika membuka wawancara dengan Balewarta tentang hemat pendidikan berkarakter.
Peran Guru pada Perkembangan Anak di Sekolah

Balewarta juga menanyakan perkiraan prosesnya bagaimana tentang pendidikan berkarakter nasional yang sebenarnya itu sudah menjadi isu lama, hanya pendengungannya saja yang terdengar makin marak di akhir-akhir ini. Guru Besar Penelitian dan Evaluasi Pendidikan ini mengaku bahwa prosesnya itu akan panjang, butuh waktu dan pemikiran yang sangat cukup, tidak bisa instan dan juga tidak bisa mengindikasikan keberhasilan secara instan juga, artinya tidak tepat bila orang bisa cepat-cepat mengatakan apakah gerakan pendidikan berkarakter bangsa kita ini sudah berhasil atau tidak berhasil. Perlu ada rumusan evaluasi yang jelas dan tegas.

Kembali Balewarta bertanya tentang prioritas garap, siapa dulu yang paling mendesak untuk digarap dalam gerakann nasionalis pendidikan di negara kita ini, Suami Rachju Widyawati ini menjawab:”Guru!” dengan tegas dan mantap tanpa keraguan apapun. Artinya, Pak Rus menghendaki guru yang harus digarap lebih dulu, karena gurulah yang paling dominan dalam praktek pendidikan. “Contohnya saja guru TK, begitu besar pengaruhnya bagi perilaku anak didiknya, guru TK telah menjadi idola anak-anak TK, kepada orangtuanya sendiri mereka tak mau menuruti nasihat, tetapi apapun yang dikatakan oleh gurunya, menjadi sangat berdampak baginya. Nah, setelah gurunya, baru kemudian keluarga dan masyarakat. Tetapi tetap saja itu semua perlu waktu yang cukup.”

“Menyikapi dampak globalisasi, terutama dampak negatif yang melunturkan karakter bangsa kita sebagai bangsa beradat ketimuran, sosial dan gotong royong, serta kesantunan yang khas di mata dunia ini, apa saja yang menjadi tugas pendidik dan instansi terkait pendidikan, menurut Bapak?” Tanya Balewarta. Bapak dari Fendi Krisna Rusdiana dan Erwin Syah Widya Rusmana ini menjawab:”Susah ya itu untuk dijawab cepat-cepat, karena guru itu terbatas sekali waktu mendidiknya, mungkin hanya di sekolah saja, dia bisa membimbing siswa mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan belajarnya saja atau menjadi filtrasi dalam proses informasinya, tetapi ketika di luar jam belajar di sekolah, guru sudah tak mungki lagi mengontrol siswa mengonsumsi informasi itu, mereka sangat konsumtif terhadap internet. Ini yang menjadi kesulitan guru, maka bisanya ya hanya memberikan tugas secara proporsional dan membimbing sebisanya terhadap afektif siswa ketika di sekolah saja.”

Sebagai seorang tokoh evaluasi pendidikan, Prof. Dr. Rusijono, M.Pd yang lahir di Madiun, 11 Pebruari 1961 ini juga menyambungkan pendapatnya dengan model pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa di Taman Siswa ada Tri Pusat Pendidikan, yaitu memusatkan pada pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan masyarakat. “Hubungannya dengan kesulitan guru dalam ikut berperan serta sebagai pemfilter derasnya arus informasi yang membentuk karakter anak bangsa menjadi ke luar dari cita-cita luhur pendidikan nasional adalah adanya keterbatasan waktu, maka tanggungjawab mendidik tidak hanya dibebankan kepada guru saja tetapi harus menjadi tanggungjawab keluarga dan masyarakat.”

“Menyinggung perkembangan ilmu pendidikan yang secara implikatif tertuang dalam kegiatan sertifikasi guru, muncul kesan bahwa peningkatan profesionalitas guru justeru banyak dirasakan oleh para guru yang ikut PLPG, sementara kesan yang mirip juga cukup tersibak bahwa profesionalitas guru-guru yang lolos portofolionya, tidak ikut PLPG justeru tidak menampakkan adanya peningkatan. Ini bagaimana pendapat Bapak?” Tanya Balewarta lagi. Pak Rus yang termasuk tokoh pencetus model penilaian kinerja guru sejak awal mulanya dulu menjawab dengan tinjauan sejarah proses tersistimnya sertifikasi guru hingga menjadi seperti sekarang ini sebagai berikut:

“Pada tahun 2004 saya dengan teman-teman menyusun atau membuat model penilaian kinerja guru yang difasilitatori oleh Dikti, bentuknya adalah: pertama penguasaan konsep/teori terkait bidang studi dan pembelajaran, yang tes-nya berupa ter tulis. Kemudian yang ke dua yaitu tes kinerja untuk mengevaluasi penguasaan keterampilan mengajarnya, seorang guru praktek mengajar di dalam kelas, dinilai oleh dua asesor. Model ini lalu dilengkapi dengan portofolio dan yang terakhir didukung oleh penilaian teman sejawat. Semula ini sudah disepakati oleh Direktorat Ketenagaan Dikti, tapi pada tahun 2005/2006 disusunlah tes tulis bagi guru untuk setiap mata pelajaran per tingkat pendidikan oleh tim-tim penyusun. Lalu pada akhir tahun 2006 tim-tim tersebut telah siap 15 set soal per bidang studi yang sudah diujicobakan dan punya tingkat kesulitan yang setara, lengkap dengan soft-wearnya. Tetapi pada akhir-akhir tahun 2006 jelang pelaksanaan sertifikasi, diadakan pertemuan terbatas antara wakil tim, Direktorat Ketenagaan Dikti dan PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) menghasilkan bahwa konsep yang sudah jelas siap itu ternyata sangat sulit dilaksanakan karena jumlah guru terlalu besar. Akhirnya disepakatilah sertifikasi yang dilakukan hanya dengan portofolio saja padahal portofolio itu tadinya hanya sebagai instrument pelengkap saja. Maka inilah yang terjadi, guru-guru malah jadi terdorong untuk keluar kelas mengejar ikut seminar-seminar dan lain-lain, akibatnya turunlah kinerjanya.”

Ditanya tentang obsesinya sebagai tokoh pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa ini, Pak Rus mengaku bahwa Beliau ingin memberikan kontribusi keilmuannya kepada Prodi dulu.”Berdasarkan Permen Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2009 tentang jabatan fungsional, sebagai pengembang Teknologi Pendidikan, saya ingin peraturan tersebut dilaksanakan oleh sekolah-sekolah untuk formasi PNS dari alumni TP, ke depan saya berharap alumni TP bisa masuk PNS, dengan langkah mengadakan sosialisasi ke pemda-pemda. Obsesi ke dalam Prodi sendiri saya ingin meningkatkan kualitas dosen dengan studi lanjut, pelatihan-pelatihan sarpras,bentuk rumpun mata kuliah:

(1) Teori Belajar.
(2) Pengembangan Ilmu.
(3) Kurikulum.
(4) Desain Pembelajaran
(5) ICT.
(6) Produksi.

Saya yakin TP akan jadi bagus bila enam rumpun tersebut berkembang dengan baik.”

Obsesinya ke Fakultas, Pak Rus yang banyak meneliti tentang Teknologi Pendidikan dan Evaluasi Analisis AKebijakan ini hanya ingin agar Fakultas Ilmu Pendidikan bisa berkembang lebih cepat lagi karena banyak bidang Ilmu Pendidikan yang justeru ditangani oleh non FIP, artinya kita kalah dengan fakultas lain dalam hal bacaan atau yang lain tentang kependidikan sesuai visi dan misi kependidikan. Kalau obsesi Pak Rus kepada Unesa, hanya berharap agar Unesa lebih baik di bidang keuangannya. “Sudah. Itu saja,” katanya sambil tersenyum bersahaja.

Menutup wawancara dengan Balewarta, Pak Rus yang sering menjadi pembicara tentang evaluasi pendidikan dan PTK ini membuka rahasia sukses hidupnya bahwa Beliau hanya bergantung kepada kebesaranNya, yakin hanya Dialah yang maha berkehendak maka jadi bisa pasrah, sehingga semua yang terjadi pada Pak Rus adalah di luar rencana Pak Rus sendiri, “Saya yakini semua yang terjadi dari Tuhan untuk saya adalah baik dan terbaik untuk saya. Dan saya sebenarnya tidak pandai, hanya karena doa orangtua sayalah yang manjur mengantarkan saya sampai ke sini, saya pengagum orangtua saya sendiri karena memang orangtua saya selalu member keteladanan itu.” Baik, selamat dan sukses ya Pak, semoga Tuhan memberkati!** (Reporter: Sri Setyowati )

0 Response to "Peran Guru pada Perkembangan Anak di Sekolah"

Post a Comment

Blog Top Sites