SELAMAT DATANG DI BLOG "SAYANG ANAK AGAR BAHAGIA"
Latest Updates

Kisah Menyalurkan Hobby Anak

Guru anak saya sewaktu di playgroup pernah menyarankan untuk memasukkan anak saya ke sanggar lukis. Saya pun mencoba berulang kali menawarkan pada si anak, tetapi dia tidak mau. Ya sudah, saya tidak mau memaksa. Memang dia pernah dua kali disuruh mewakili playgroup-nya untuk ikut lomba mewarnai. Tapi apa yang saya peroleh? Di arena perlombaan, para ibu tak mau kalah mengikuti lomba dengan mencuri-curi membantu anak mereka. Tentu saja saya sangat tidak tertarik untuk menirunya. Hasilnya, yang menang yang dibantu ibu. Sungguh keterlaluan dan sangat tidak sportif. Lantas, saya memutuskan untuk tidak mengikutinya lagi.
Kisah Menyalurkan Hobby Anak

Suatu saat, sewaktu duduk di TK, anak saya disuruh gurunya membuat lukisan perempuan, karena bertepatan dengan Hari Kartini. Apa yang dilukis anak saya? Ternyata ia melukis wajah saya lengkap dengan kacamata. Betapa senangnya dia saat ibu guru mengambil lukisannya dan menunjukkan kepada teman-teman sambil memuji.

Mulai duduk di bangku SD hingga kelas 4 ia selalu memilih kegiatan pilihan melukis. Memang, di rumah hobby banget melukis. Dan, hasilnya pun sempat membuat saya terkejut. Dalam suatu acara di school, saya terkesima karena di suatu sudut tembok, saya melihat lukisan anak saya dipamerkan. Ia melukis seorang anak perempuan dikelilingi kupu-kupu. Di lain waktu, anak saya juga diberi kesempatan memajang lukisannya.

Anak saya sangat hobby melukis orang, entah itu dengan cat air, crayon, spidol, maupun pensil. object lukisan yang paling digemari perempuan dan aksesori pakaiannya. Gurunya pernah menyarankan agar dia mengembangkan object lukisannya. Namun entah kenapa, dia tetap saja enjoy dengan gambar orang. Lalu saya sarankan saja agar dia membuat variasi gambar orang.

Suatu malam ketika kami nongkrong di warung bakmi, ada pengumuman lomba melukis. Karena merasa pesertanya sudah tidak rewel dan bisa ditinggalkan ibunya, kami tertarik mendaftarkan anak. Beruntung dia mau. Dan kami pikir lomba pasti lebih sportif. Lagipula, tujuan utama kami menambah pengalaman si anak, menyalurkan hobby, serta melatih keberaniannya.

Pada saat lomba, kami bertiga geli karena peserta lain membawa peralatan yang aneh-aneh, seperti kemoceng, handuk, alat semprot, dan lain sebagainya. Kami sempat berdiskusi kecil untuk apakah gerangan alat-alat itu. Tetapi kami santai saja dan berusaha mengajari anak untuk cuek.

Waktu yang disediakan dua jam, tetapi anak saya dengan tenangnya keluar pertama kali, setengah jam setelah lomba dimulai. Saya sangat geli, dia begitu pedenya. Peserta lain masih asyik dengan lukisannya. Dan, lagi-lagi masih ada juga orang tua yang tidak sportif, membantu anak dengan teriakan komando, membantu memilihkan warna, dan sebagainya, walaupun panitia telah melarangnya. Tapi beruntung, juri dan panitia benar-benar bijaksana memberikan diskualifikasi bagi yang melanggar. Akhirnya, malah anak yang dirugikan oleh ulah orang tua, kan.

Saat mendengarkan hasil lomba, kami saling berpandangan seolah tidak percaya. Anak saya juara I. Para orang tua yang anaknya langganan juara melukis tidak terima. Mereka protes pada juri, di depan kami. Aneh bukan? Ini ambisi orang tua atau ajang menyalurkan hobby dan bakat anak? Dengan tenang si juri idealis menerangkan yang dicari gambar yang benar-benar tanpa sketsa spidol hitam, langung memakai crayon, dan mencerminkan dunia anak dengan segala kepolosannya. Gambar yang dimaksud adalah gambar yang spontanitas menimbulkan kelucuan dan senyum bagi yang melihat, bukan kekaguman.

Hal yang lebih tragis terjadi lagi. Saat pengambilan piala, piala anak saya ternyata sudah diserobot orang lain. Piala yang tersisa piala harapan I. Saya benar-benar tidak tega melihat raut kecewa anak saya, bocah delapan tahun waktu itu. Tetapi ini saya jadikan pelajaran bagi dia dan saya tekankan bahwa dalam perlombaan terkadang kita akan menemukan kecurangan. Dan untuk menghargai anak saya, kami meminta panitia untuk meralatnya. Beruntung sertifikatnya tidak salah dan dapat dijadikan bukti. Gilanya, si pembawa piala tidak mengembalikan ke panitia. Seharusnya kalau merasa anaknya tidak juara I, ia buru-buru menukar dengan piala yang semestinya diterima. Ya sudahlah! Tugas saya memberi pengertian pada anak kami dengan benar.

Sehabis mengikuti lomba tersebut, anak saya sempat dua kali lagi mengikuti lomba melukis. Setelah itu dia malas-malasan karena sudah hafal langganan pemenang di tempat-tempat lain adalah anak sanggar, sementara dia selalu tidak mau masuk sanggar. Dan saya harus menghargai keputusan itu, meski sudah saya jelaskan kalah menang dalam perlombaan itu hal biasa.

Namun, berhubung hobby melukisnya sudah mendarah daging, dia tetap saja asyik corat-coret di buku gambar dan setia mengikuti kegiatan pilihan melukis di school. Dan, yang dilukisnya tetap saja gambar orang dengan berbagai versi wajah. Dia betah bertahan berjam-jam untuk menikmati hobby melukisnya.

0 Response to "Kisah Menyalurkan Hobby Anak"

Post a Comment

Blog Top Sites